Andi dan Si Hitam Bening


Andi dan Si Hitam Bening



 

Rumah Andi terlihat sepi siang itu. Seorang anak setinggi Andi terlihat memasuki halaman rumah.

“Andi … Andi …,” panggil anak itu dari halaman rumah Andi seraya turun dari sepeda gunungnya.

          “Andi sekeluarga pergi sejak kemarin pagi. Kamu teman sekolahnya ya?” kata pak Toni tetangga Andi keluar rumah setelah mendengar seseorang memanggil nama Andi.

          “Iya, Pak. Nama saya  Eka. Mereka pergi liburan ya, Pak?” tanya Eka.

          “Mereka pergi ke rumah nenek Andi di Boyolali. Sekalian liburan,” jawab pak Toni.

          “Saya pulang dulu ya, Pak. Nanti saja main lagi ke sini bila Andi sudah pulang. Terima kasih, Pak. Assalamu’alaikum,” jawab Eka.

          “Wa’alaikum salam. Hati-hati, Nak!” ujar pak Toni.

          Andi dan keluarganya tiba di Boyolali sekitar pukul 13:00 WIB. Mereka disambut haru nenek, bulik, om dan kedua sepupunya. Sepupu Andi bernama Dika dan Ali. Paman sekeluarga yang menemani dan memperhatikan keperluan nenek. Mereka berpelukan melepas rindu karena sudah 2 tahun tidak saling bertemu. Pandemi belum usai. Selama ini mereka bersua secara maya. Terkadang video call, chatting atau telepon saja sebagai cara untuk berkomunikasi. Mereka segera masuk ke dalam rumah.

          Paman Andi membantu  membawa barang bawaan mereka. Andi terlihat membawa sebuah tas tangan berukuran sedang namun terlihat cukup berat. Tangan kirinya memegang pegangan tas sedangkan tangan kanannya seolah menyangganya.

          “Andi, apa isi tas itu? Sepertinya berat sekali. Sini, om saja yang bawa,” kata om Jaya.

          “Itu mainan kesayangan Andi. Kemana pun pergi selalu dibawa. Kadang-kadang juga menemaninya tidur,” kata Pak Ahmad, ayah Andi.

          “Kucing, ya? Tapi kok tertutup rapat. Tidak ada rongga udaranya. Wah, bisa mati lho itu kucingnya,” ujar om Jaya.

          “Hehehe …. Ini kelereng. Bukan kucing kok, Om,” tukas Andi tersipu.

          Semua barang sudah selesai dimasukkan ke dalam kamar yang mereka tempati. Mereka bergantian mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, mereka menunaikan shalat dhuhur berjamaah di mushola rumah. Kakek telah menyiapkan satu ruang khusus sebagai mushola. Desain pintu ruangannya dibuat seperti pintu masjid. Selesai shalat, mereka menuju ruang makan.

          Bulik Nunik sudah memasak beberapa makanan. Ada pecel, soto ayam, tahu bacem, tempe goreng, sambal, dan kerupuk udang. Ayam goreng kesukaan Andi pun tersaji di atas meja makan. Mereka segera menikmati makan siang bersama. Andi, Dika, dan Ali makan dengan lahap. Ternyata mereka menyukai makanan yang sama.

          Makan siang selesai. Om Jaya, pak Ahmad dan anak-anak pergi ke teras depan. Para ibu membereskan meja makan dan mencuci piring. Tiba saatnya untuk bermain.

          “Al, main kelereng, yuk! Tuh di bawah pohon mangga itu. Kelihatannya teduh jadi kita tidak kepanasan,” ajak Andi.

          “Ayok. Siapa takut. Aku ambil dulu kerengku.          Ayo,Dika. Ambil kelerengmu,” ajak Ali bergegas mengambil kelerengnya diikuti Dika.

          Andi masuk ke kamarnya untuk mengambil kelereng. Semua kelereng dibawanya lalu dikeluarkan.

          “Banyak amat kelerengmu, mas. Wuih, bagus banget itu yang hitam bening,” kata Dika.

          “Iya. Aku sangat suka. Ini kelereng kesayanganku. Ini gacoku,” kata Andi. Dika memilih kelereng kuning bening sebagai penyerang. Sedangkan Ali memilih kelereng susu. Andi akhirnya memilih kereng hitam bening sebagai gaconya.

          Masing-masing dari mereka mengeluarkan 10 biji. Mereka mengambil 1 biji sebagai penyerang. Mereka memasukkan 9 kelereng lainnya ke dalam lingkaran yang dibuat Ali. Mereka humpimpah terlebih dahulu untuk menentukan siapa giliran pertama, kedua, dan ketiga. Ali sebagai urutan pertama. Disusul oleh Andi. Dan penyerang terakhir adalah Dika. Apabila penyerang berhasil menembak kelereng sampai ke luar garis maka kelereng itu menjadi miliknya.

          Tembakan pertama Ali meleset. Kencang tetapi tidak mengenai sasaran. Giliran Andi sebagai penembak kedua. “Tar” terdengar suara kelereng beradu. Dua kelereng berhasil keluar dari lingkaran. Segera dia mengambil kelereng itu. Sekarang giliran Dika untuk menembak. Kembali terdengar suara “tar” satu kelereng keluar lingkaran. Mereka asyik sekali bermain kelereng. Tidak terasa kelereng di dalam lingkaran pun tak tersisa. Mereka menghitung kelereng yang berhasil mereka kumpulkan.

          “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Hore, kelerengku ada 8,”  sorak Andi kegirangan.

          “Aku mendapat 4,” kata Ali sedih.

          “Aku cuma mendapat 3,” ucap Dika sedih sekali.

          “Tidak apa-apa, Dika. Tidak usah sedih gitu. Ini kan hanya permainan. Mungkin kamu kurang konsentrasi. Tembakanmu sering meleset. Besok kita main lagi ya,” kata Andi menenangkan Dika.

          Pagi berikutnya setelah sarapan, mereka kembali bermain kelereng. Benar saja. Dika terlihat lebih konsentrasi. Andi berhasil mengumpulkan tiga buah kelereng. Ali baru satu. Sedangkan Dika mengumpulkan dua buah kelereng. “Tar” Dika menembak gaco Ali.

          “Dikaa …,” teriak Ali terhenti mendengar panggilan bulik Nunik.

          “Kalian ayo cepat masuk. Kita mau ke rumah pakde  Yono. Kalian bersihkan badan dan ganti bajunya. Semua dah nunggu di teras tuh,” kata bulik Nunik.

          Mereka bersiap dalam beberapa menit saja karena tadi pagi sudah mandi. Dika bersyukur dalam hati tidak dimarahi Ali karena salah tembak. ”Semoga besok tidak terulang lagi,” doanya di dalam hati.




#andidansihitambening

#desemberaiseichallange

#satuminggusatucerpenak

 

Sri Sundari C.U

Karawang, 1-1-2022

0 Response to "Andi dan Si Hitam Bening"

Posting Komentar